PEKERJA BERAT, LINGKUNGAN KHUSUS (SUHU EKSTRIM)
Nama : Amalda Hidayanti
NIM : 1810912220006
Mata Kuliah : Gizi Kerja
Institusi : Universitas Lambung Mangkurat
PEKERJA BERAT, LINGKUNGAN KHUSUS (SUHU EKSTRIM)
Dalam suatu lingkungan kerja, tenaga kerja akan menghadapi tekanan lingkungan kerja dan beban kerja utama yaitu tugas dalam melaksanaan pekerjaan sesuai dengan bagiannya dan terdapat pula faktor yang menyebabkan beban tambahan sehingga dapat menimbulkan gangguan bagi tenaga kerja. Faktor tersebut antara lain faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis, faktor fisiologis, dan faktor mental psikologi (Arianto, 2019). Suhu lingkungan termasuk kedalam salah satu faktor fisik ditempat kerja. Suhu lingkungan merupakan ukuran derajat panas atau dinginnya suatu lingkungan yang diukur dengan menggunakan termometer. Semakin tinggi suhu suatu benda maka semakin panas suatu tempat, dan sebaliknya semakin rendah maka semakin dingin (Maisyaroh, 2017). Suhu lingkungan erat kaitannya dengan tingkat kelembaban udara. Semakin tinggi suhu lingkungan maka semakin tinggi pula tingkat kelembaban udara di sekitar (Minarto, 2019).
Peraturan mengenai lingkungan kerja bersuhu tinggi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Pasal 2 ayat (1) UU 1/1970 ini mengatur keselamatan kerja dalam segala ditempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Dan pada Pasal 2 ayat (2) UU 1/1970, ketentuan-ketentuan pada ayat (1) tersebut berlaku pada tempat kerja dimana salah satunya adalah tempat kerja yang dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi (Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1970).
Ketidaknyamanan suatu lingkungan kerja yang disebabkan oleh temperatur juga akan mempengaruhi penyelesaian pekerjaan dari seorang pekerja. Panas yang berlebihan di tubuh baik akibat proses metabolisme tubuh maupun paparan panas dari lingkungan kerja dapat menimbulkan masalah kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 18-30ÂșC dengan tinggi langit-langit dari lantai minimal 2,5 m.
Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2003) kondisi panas yang berlebihan disekeliling tempat kerja akan mengakibatkan rasa lelah dan kantuk, mengurangi kestabilan dan meningkatnya jumlah angka kesalahan kerja (Odi, 2018). Adapun suhu panas dapat mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan memperlambat waktu mengambil keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi saraf perasa dan motoris, serta memudahkan emosi untuk dirangsang.
Gangguan kesehatan akibat tekanan panas dimulai dari gangguan fisiologis yang sangat sederhana seperti halnya dehidrasi, merasa haus, cepat lelah, pusing, mual, terdapat biang keringat, kulit terasa panas dan kering, timbulnya kejang, sampai dengan terjadinya penyakit yang sangat serius. Gangguan perilaku dan performansi kerja juga sering ditemukan seperti pekerja melakukan istirahat curian. Peningkatan pada suhu dalam tubuh yang berlebih dapat mengakibatkan penyakit dan kematian psikis (Harahap, 2017).
Pekerja di lingkungan panas paling sering mengalami dehidrasi. Dehidrasi adalah kondisi dimana kehilangan cairan tubuh yang berlebihan karena penggantian cairan yang tidak cukup akibat asupan yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh dan terjadi peningkatan pengeluaran air sehingga dibutuhkan asupan cairan yang terpenuhi dengan konsumsi air minum yang cukup (Sari, 2017). Saat tenaga kerja bekerja atau menerima beban kerja dan berada di bawah pengaruh lingkungan kerja yang panas, maka kecepatan berkeringat menjadi maksimum. Kondisi tubuh yang seperti ini akan mengalami kehilangan garam-garam mineral, sehingga tubuh mengalami dehidrasi. Semakin tinggi suhu lingkungan yang mempengaruhi besar beban kerja yang diterima tenaga kerja maka semakin besar pengaruh terhadap peningkatan suhu tubuh (Nofianti, 2019).
Selain lingkungan kerja yang panas dehidrasi dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi cairan, penggunaan pakaian saat bekerja dan riwayat penyakit yang dimiliki. Menurut Briawan (2008) konsumsi air masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 49,1% subyek penelitian remaja mengalami kurang air atau dehidrasi ringan, pada orang dewasa sebesar 42,5%. Penelitian yang telah dilakukan Sari (2017) pada 53 tenaga kerja yang bekerja di iklim kerja panas yaitu bagian weaving I dengan suhu ruangan kerja mencapai 32,22 ̊C dan weaving II dengan suhu ruangan kerja mencapai 31,96 ̊C, ada sebanyak 37 pekerja yang mengalami dehidrasi. Adapun Hasil penelitian yang di lakukan oleh Hidayatullah (2016) pada pekerja yang berada di lingkungan panas diketahui pekerja yang dehidrasi sebesar 19,2%. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan tingkat konsumsi air minum antara pekerja yang terpapar iklim kerja panas diatas dan dibawah Nilai Ambang Batas (NAB). Hal tersebut dimungkinkan karena suhu lingkungan kerja yang tinggi (>300oC) sehingga terjadi peningkatan kebutuhan cairan mencapai 6000-8000 ml, namun ternyata hanya 2,7% subjek yang mengonsumsi cairan > 6 liter per hari. Konsumsi cairan berhubungan dengan status hidrasi pada pekerja. Penelitian pada 30 tenaga kerja di bagian stockyard menunjukkan adanya perbedaan tingkat dehidrasi pada pekerja yang bekerja di lingkungan kerja yang memiliki tekanan panas < Nilai Ambang Batas (NAB) dan> NAB (Ariyanti, 2018).
Iklim kerja panas juga berpengaruh signifikan pada tingkat dehidrasi tenaga kerja. Iklim kerja panas adalah kombinasi antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan dan suhu radiasi, kombinasi keempat faktor itu dihubungan dengan produksi panas oleh tubuh. Suhu tubuh manusia dipertahankan hampir menetap akibat keseimbangan antara panas yang dihasilkan di dalam tubuh sebagai akibat metabolism dan pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan sekitar (Sari, 2017). Menurut Tasyrifah (2017) tingkat dehidrasi pada tenaga kerja yang bekerja dengan iklim panas bagian pengepakan 62% lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat dehidrasi pada iklim kerja panas bagian pelintingan 38%.
Faktor risiko dehidrasi meliputi umur, jenis kelamin, lingkungan kerja panas, suhu tubuh, riwayat penyakit dan tingkat konsumsi cairan. Pekerja di lingkungan panas seperti di sekitar peleburan, boiler, oven, tungku pemanas atau bekerja di luar ruangan di bawah terik matahari dapat mengalami tekanan panas. Tekanan panas merupakan batasan tubuh menerima beban panas dari kombinasi tubuh yang menghasilkan panas saat melakukan pekerjaan dan faktor lingkungan (seperti pajanan suhu lingkungan yang terlalu panas, kelembaban, pergerakan udara, dan radiasi perpindahan panas), beban fisik yang berat, waktu istirahat yang tidak mencukupi, serta pakaian yang digunakan. Kejadian Dehidrasi ditandai dengan penderita berkeringat banyak, kehilangan cairan, dehidrasi, terasa lemah, dan dapat pingsan. Bila tidak mendapat tindakan medis yang cepat, gangguan kesehatan karena suhu lingkungan yang eksterm ini dapat mengakibatkan kecacatan atau kematian (Ariyanti, 2018).
Keseimbangan air di dalam tubuh perlu dijaga melalui pemenuhan kebutuhan air dan untuk menghindari terjadinya dehidrasi. Kebutuhan air bagi setiap individu akan berbeda-beda, tergantung dari ukuran fisik, umur, jenis kelamin, aktivitas fisik dan lingkungannya. Perkiraan kebutuhan air tubuh biasanya berdasarkan asupan energi, luas permukaan tubuh, atau berat badan tubuh. Kebutuhan air sehari dinyatakan sebagai proporsi terhadap jumlah energi yang dikeluarkan tubuh dalam keadaan lingkungan rata-rata. Pemenuhan kebutuhan air diperlukan untuk menggantikan pengeluaran air dari pernapasan, kulit, ginjal (urin), serta saluran pencernaan. Keseimbangan cairan tubuh adalah keseimbangan antara jumlah cairan yang masuk dan keluar tubuh. Keseimbangan air di dalam tubuh dipengaruhi oleh konsumsi cairan dan pengeluaran air. Melalui mekanisme keseimbangan, tubuh berusaha agar cairan di dalam tubuh setiap waktu berada di dalam jumlah yang tetap/konstan (Sari, 2017).
Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH, 2010), seseorang yang bekerja pada lingkungan kerja panas dianjurkan untuk minum 1 gelas air (250 ml) setiap 30 menit. Asupan air minum pada saat bekerja dengan lingkungan kerja yang panas diberikan tidak hanya pada saat merasa haus saja, akan tetapi ketika tidak merasa haus pun tetap dianjurkan untuk mengkonsumsi air minum dengan jumlah 1 gelas (250ml) setiap 30 menit. Hal ini bertujuan untuk menjaga tubuh dari dehidrasi akibat banyaknya cairan tubuh yang hilang akibat aktivitas fisik yang dilakukan dan paparan panas yang dihadapi (Nofianti, 2019).
Pekerjaan di tempat panas harus diperhatikan secara khusus kebutuhan air dan garam sebagai pengganti cairan untuk penguapan. Menurut Suma’mur (2009) air minum merupakan unsur pendingin tubuh yang penting dalam lingkungan panas terutama bagi tenaga kerja yang terpapar oleh panas yang tinggi sehingga banyak mengeluarkan keringat. Kebiasaan minum air yang baik dapat mencegah terjadinya dehidrasi tubuh setelah terpapar panas dalam kurun waktu tertentu. Apabila kecukupan konsumsi cairan terpenuhi sesuai kebutuhan dalam lingkungan panas maka status hidrasi akan baik, sebaliknya jika konsumsi cairan kurang karena suhu lingkungan yang tinggi maka akan berisiko dehidrasi (Ariyanti, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Arianto ME, Prasetyowati DD. 2019. Hubungan Antara Lingkungan Kerja Panas Dengan Keluhan Heat Related Illnes pada Pekerja Home Industry Tahu di Dukuh Janten, Bantul. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat 11(4): 318-324.
Ariyanti SM, Setyaningsih Y, Prasetio DB. 2018. Tekanan Panas, Konsumsi Cairan, dan Penggunaan Pakaian Kerja dengan Tingkat Dehidrasi. HIGEIA 2(4): 634-644.
Harahap PS, Asipsam. 2017. Hubungan antara suhu lingkungan kerja panas dan beban kerja terhadap kelelahan pada tenaga kerja di bagian produksi PT. Remco (SBG) Kota Jambi Tahun 2016. Riset Informasi Kesehatan 6(1): 35-40.
Maisyaroh S, Fakhruddin, Islami N. 2017. Analisis Pemahaman Konsep Suhu Dan Kalor Menggunakan Instrumen Thermal And Transport Concept Inventory Berbasis Representasi Grafik Pada Siswa Sman 1 Gas. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau
Minarto E, Fattahilah M. 2019. Efek Suhu Lingkungan Terhadap Fisiologi Tubuh Pada Saat Melakukan Latihan Olahraga. Journal of Sport and Exercise Science 2(1): 9-13.
Nofianti DW, Koesyanto H. 2019. Masa Kerja, Beban Kerja, Konsumsi Air Minum dan Status Kesehatan dengan Regangan Panas pada Pekerja Area Kerja. HIGEIA 3(4): 524-533.
Odi KD, Purimahua SL, Ruliati LP. 2018. Hubungan Sikap Kerja, Pencahayaan Dan Suhu Terhadap Kelelahan Kerja Dan Kelelahan Mata Pada Penjahit Di Kampung Solor Kupang 2017. Jurnal IKESMA 14(1): 65-76.
Sari MP. 2017. Iklim Kerja Panas Dan Konsumsi Air Minum Saat Kerja Terhadap Dehidrasi. HIGEIA 1(2): 108-118.
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
edit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar