ISSUE K3 DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

| Rabu, 03 Maret 2021

Nama              : Amalda Hidayanti

NIM                : 1810912220006

Institusi           : Universitas Lambung Mangkurat

 

ISSUE K3 DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)

 

Tahun 2016 merupakan tahun di mana kebijakan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) yang dalam istilah asing MEA disebut sebagai ASEAN Economics Community, mulai diterapkan di Negara Indonesia (Ningsih, 2019). MEA ialah wujud bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian terdapatnya sistem perdagangan leluasa antar negara-negara ASEAN. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing perekonomian negara-negara ASEAN dan dapat menyaingi negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika. Pembentukan pasar tunggal di ASEAN ini nantinya akan membebaskan arus perdagangan dari satu negara ke negara lainnya. Untuk menghadapi MEA, segala bidang perekonomian di Indonesia harus segera mempersiapkan diri agar dapat bersaing dengan pihak-pihak asing, baik di bagian teknologi maupun tenaga kerja. Dengan ketersediaan sumber daya manusia yang cukup banyak di Indonesia, maka aspek SDM ialah salah satu bagian yang perlu dicermati dalam menghadapi MEA (Winanda, 2015).

Dengan diterapkannya MEA di Indonesia, artinya tenaga kerja asing akan banyak di Negara ini dan begitupula sebaliknya, pekerja Indonesia akan tersebar di beberapa Negara ASEAN. Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga para tenaga kerja Profesional yang ahli di bidang-bidangnya masing-masing, MEA secara langsung akan mempengaruhi kualitas tenaga ahli di Indonesia. Dengan semakin ketatnya persaingan dalam mendapatkan sebuah pekerjaan, calon pekerja sering kali melupakan yang namanya keahlian dan pengetahuan yang merupakan hal penting untuk melakukan suatu pekerjaan terutama pekerjaan yang memiliki resiko tinggi kecelakaan (Ningsih, 2019).

Setiap tahun ribuan kecelakaan terjadi di tempat kerja menimbulkan korban jiwa, kerusakan materi, dan gangguan produksi. Pada tahun 2007 menurut data dari jamsostek tercatat 65.474 kecelakaan yang mengakibatkan 1.451 orang meninggal, 5.326 orang cacat tetap dan 58.697 orang cedera. Data kecelakaan tersebut mencakup seluruh perusahaan yang menjadi anggota jamsostek dengan jumlah peserta sekitar 7 juta orang atau sekitar 10% dari seluruh pekerja di Indonesia. Dengan demikian angka kecelakaan mencapai 930 kejadian untuk setiap 100.000 pekerja setiap tahun. Oleh karena itu jumlah kecelakaan keseluruhannya diperkirakan jauh lebih besar. Bahkan menurut penelitian world economic forum pada tahun 2006, angka kematian akibat kecelakaan di Indonesia mencapai 17-18 untuk setiap 100.000 pekerja (Kani, 2013)

Menurut data kasus kecelakaan kerja di Indonesia pada tahun 2013 tercatat sebanyak 103.283 kasus kecelakaan kerja yang tercatat bahwa setiap harinya ada 9 pekerja yang merupakan peserta Jamsostek meninggal dunia akibat kecelakaan kerja. Jumlah ini mening­kat dari tahun ke tahunnya bila dibandingkan angka kecelakaan kerja pada tahun 2012 ter­dapat 103.074 kasus, pada tahun 2011 terdapat 99.491 kasus, dan pada tahun 2010 terdapat 98.711 kasus (Aryantiningsih, 2016).

Adapun, data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, hingga akhir 2015 telah terjadi kecelakaan kerja sebanyak 105.182 kasus. Sementara itu, untuk kasus kecelakaan berat yang mengakibatkan kematian tercatat sebanyak 2.375 kasus dari total jumlah kecelakaan kerja. Hal ini sangatlah memprihatinkan, dan menyatakan bahwa tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan merupakan aset penting dari suatu perusahaan. Kewajiban dalam menyelenggarakaan Sistem Manajemen K3 pada perusahaan-perusahaan besar melalui UU Ketenagakerjaan, baru menghasilkan 2,1% saja dari 15.000 lebih perusahaan berskala besar di Indonesia yang sudah menerapkan Sistem Manajemen K3. Minimnya jumlah itu sebagian besar disebabkan oleh masih adanya anggapan bahwa program K3 hanya akan menjadi tambahan beban biaya perusahaan. Padahal jika diperhitungkan besarnya dana kompensasi/santunan untuk korban kecelakaan kerja sebagai akibat diabaikannya Sistem Manajemen K3, yang besarnya mencapai lebih dari 190 milyar rupiah di tahun 2003, jelaslah bahwa masalah K3 tidak selayaknya (Makadao, 2017).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja sangatlah penting untuk dterapkan di lingkungan tempat kita bekerja. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu program yang dibuat untuk pekerja maupun pengusaha sebagai upaya mencegah timbulnya kecelakaan dan penyakit akibat kerja, dengan cara mengenali hal-hal yang berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta tindakan antisipatif apabila terjadi kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Tujuan dari dibuatnya program K3 adalah untuk mengurangi biaya perusahaan apabila timbul kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Ningsih, 2019).

Penerapan SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menjadi persyaratan bagi perusahaan-perusahaan Indonesia agar tidak kalah dalam bersaing di era MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) (Fitri, 2016). Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja atau SMK3 secara etimologis ialah pemikiran dan upaya penerapannya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan khususnya tenaga kerja baik jasmani maupun rohani (Awuy, 2017). Penerapan SMK3 yang terintegrasi menjadi tuntutan utama dalam pemenuhan standar Internasional terhadap produksi dan penjualan produk barang dan jasa. Dalam menghadapi era MEA dan era persaingan perdagangan internasional, azas penerapan K3 di sebuah perusahaan merupakan syarat utama yang berpengaruh besar terhadap nilai investasi, kualitas dan kuantitas produk dan jasa, kelangsungan usaha perusahaan serta daya saing sebuah negara. Oleh karena itu, produk barang atau jasa yang dihasilkan perusahaan harus memiliki mutu yang baik, aman dipergunakan, ramah lingkungan serta memenuhi standar internasional yang ketat seperti sistem manajemen mutu, sistem manajemen lingkungan, sistem manajemen K3 serta standar-standar lainnya. Tujuan penerapan SMK3 adalah untuk menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien (Fitri, 2016).

Lingkungan kerja yang aman, nyaman dan selamat harus memenuhi berbagai persyaratan sistem manajemen keselamatan, terutama dalam memenuhi persyaratan suatu proses produksi. Kecelakaan kerja dan gangguan kesehatan yang dialami seorang pekerja bukan saja menjadi masalah bagi pekerja itu sendiri namun juga bagi anggota keluarganya serta kerugian yang besar bagi perusahaan. Kecelakaan kerja di tempat kerja pada umumnya dapat dicegah tanpa perlu mengeluarkan investasi dalam jumlah tinggi. Untuk dapat menjalankan prinsip kesehatan dan keselamatan kerja dengan baik perusahaan dan pekerja harus mengunakan “business sense“ yang baik dan mengikuti peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah yang ada. Dengan diterapkannya SMK3 (Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di suatu perusahaan tentunya perusahaan akan dapat bersaing dan menghadapi dengan baik era MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) ini (Awuy, 2017).


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Awuy T. 2017. Faktor-Faktor Penghambat Penerapan Sistem Manajemen K3 Pada Proyek Konstruksi Di Kota Manado. Jurnal Sipil Statik 5(4): 187-194.

Aryantinignsih DS, Husmaryuli D. 2016. Kejadian Kecelakaan Kerja Pekerja Aspal Mixing Plant (AMP) & Batching Plant di PT. LWP Pekanbaru Tahun 2015. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas 10(2): 145-150.

Fitri SN. 2016. Implementasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Karyawan Perusahaan dalam Menghadapi MEA 2016. Jurnal Spread 6(1): 53-61.

Kani BR. 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pelaksanaan Proyek Konstruksi (Studi Kasus: Proyek PT. Trakindo Utama). Jurnal Sipil Statik 1(6): 430-433.

Makadao E, Kawet J, Rondonuwu C. 2017. Pengaruh Keselamatan dan Kesehatan Kerja terhadap Kinerja Karyawan PT. Bimoli Bitung. Jurnal EMBA 5(3): 4295-4312.

Ningsih SOD, Hati SW. 2019. Analisis Resiko Keselamatan Dan Kesehatan kerja (K3) Dengan Menggunakan Metode Hazard and Operability Study (Hazop) Pada Bagian Hydrotest Manualdi Pt. Cladtek Bi Metalmanufacturing. Journal of Business Administration 3(1): 29-39.

Winanda RV, Ham D, Nugraha P. 2015. Analisis Kesiapan Sumber Daya Manusia pada Kontraktor di Surabaya Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Jurnal Dimensi Pratama Teknik Sipil 4(1): 1-8.

 

 


edit

PEKERJA BERAT, LINGKUNGAN KHUSUS (SUHU EKSTRIM)

| Rabu, 03 Maret 2021

 

Nama            : Amalda Hidayanti

NIM              : 1810912220006

Mata Kuliah : Gizi Kerja

Institusi        : Universitas Lambung Mangkurat

 

 

PEKERJA BERAT, LINGKUNGAN KHUSUS (SUHU EKSTRIM)

 

Dalam suatu lingkungan kerja, tenaga kerja akan menghadapi tekanan lingkungan kerja dan beban kerja utama yaitu tugas dalam melaksanaan pekerjaan sesuai dengan bagiannya dan terdapat pula faktor yang menyebabkan beban tambahan sehingga dapat menimbulkan gangguan bagi tenaga kerja. Faktor tersebut antara lain faktor fisik, faktor kimia, faktor biologis, faktor fisiologis, dan faktor mental psikologi (Arianto, 2019). Suhu lingkungan termasuk kedalam salah satu faktor fisik ditempat kerja. Suhu lingkungan merupakan ukuran derajat panas atau dinginnya suatu lingkungan yang diukur dengan menggunakan termometer. Semakin tinggi suhu suatu benda maka semakin panas suatu tempat, dan sebaliknya semakin rendah maka semakin dingin (Maisyaroh, 2017). Suhu lingkungan erat kaitannya dengan tingkat kelembaban udara. Semakin tinggi suhu lingkungan maka semakin tinggi pula tingkat kelembaban udara di sekitar (Minarto, 2019).

Peraturan mengenai lingkungan kerja bersuhu tinggi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Pasal 2 ayat (1) UU 1/1970 ini mengatur keselamatan kerja dalam segala ditempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Dan pada Pasal 2 ayat (2) UU 1/1970, ketentuan-ketentuan pada ayat (1) tersebut berlaku pada tempat kerja dimana salah satunya adalah tempat kerja yang dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi (Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1970).

Ketidaknyamanan suatu lingkungan kerja yang disebabkan oleh temperatur juga akan mempengaruhi penyelesaian pekerjaan dari seorang pekerja. Panas yang berlebihan di tubuh baik akibat proses metabolisme tubuh maupun paparan panas dari lingkungan kerja dapat menimbulkan masalah kesehatan. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 Persyaratan kesehatan untuk ruang kerja industri yang nyaman di tempat kerja adalah suhu yang tidak dingin dan tidak menimbulkan kepanasan bagi tenaga kerja yaitu berkisar antara 18-30ÂșC dengan tinggi langit-langit dari lantai minimal 2,5 m.

Menurut Grandjean (1986) dalam Nurmianto (2003) kondisi panas yang berlebihan disekeliling tempat kerja akan mengakibatkan rasa lelah dan kantuk, mengurangi kestabilan dan meningkatnya jumlah angka kesalahan kerja (Odi, 2018). Adapun suhu panas dapat mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan memperlambat waktu mengambil keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi saraf perasa dan motoris, serta memudahkan emosi untuk dirangsang.

Gangguan kesehatan akibat tekanan panas dimulai dari gangguan fisiologis yang sangat sederhana seperti halnya dehidrasi, merasa haus, cepat lelah, pusing, mual, terdapat biang keringat, kulit terasa panas dan kering, timbulnya kejang, sampai dengan terjadinya penyakit yang sangat serius. Gangguan perilaku dan performansi kerja juga sering ditemukan seperti pekerja melakukan istirahat curian. Peningkatan pada suhu dalam tubuh yang berlebih dapat mengakibatkan penyakit dan kematian psikis (Harahap, 2017).

Pekerja di lingkungan panas paling sering mengalami dehidrasi. Dehidrasi adalah kondisi dimana kehilangan cairan tubuh yang berlebihan karena penggantian cairan yang tidak cukup akibat asupan yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh dan terjadi peningkatan pengeluaran air sehingga dibutuhkan asupan cairan yang terpenuhi dengan konsumsi air minum yang cukup (Sari, 2017). Saat tenaga kerja bekerja atau menerima beban kerja dan berada di bawah pengaruh lingkungan kerja yang panas, maka kecepatan berkeringat menjadi maksimum. Kondisi tubuh yang seperti ini akan mengalami kehilangan garam-garam mineral, sehingga tubuh mengalami dehidrasi. Semakin tinggi suhu lingkungan yang mempengaruhi besar beban kerja yang diterima tenaga kerja maka semakin besar pengaruh terhadap peningkatan suhu tubuh (Nofianti, 2019).

Selain lingkungan kerja yang panas dehidrasi dapat disebabkan oleh kurangnya konsumsi cairan, penggunaan pakaian saat bekerja dan riwayat penyakit yang dimiliki. Menurut Briawan (2008) konsumsi air masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, yaitu 49,1% subyek penelitian remaja mengalami kurang air atau dehidrasi ringan, pada orang dewasa sebesar 42,5%. Penelitian yang telah dilakukan Sari (2017) pada 53 tenaga kerja yang bekerja di iklim kerja panas yaitu bagian weaving I dengan suhu ruangan kerja mencapai 32,22 ̊C dan weaving II dengan suhu ruangan kerja mencapai 31,96 ̊C, ada sebanyak 37 pekerja yang mengalami dehidrasi. Adapun Hasil penelitian yang di lakukan oleh Hidayatullah (2016) pada pekerja yang berada di lingkungan panas diketahui pekerja yang dehidrasi sebesar 19,2%. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan tingkat konsumsi air minum antara pekerja yang terpapar iklim kerja panas diatas dan dibawah Nilai Ambang Batas (NAB). Hal tersebut dimungkinkan karena suhu lingkungan kerja yang tinggi (>300oC) sehingga terjadi peningkatan kebutuhan cairan mencapai 6000-8000 ml, namun ternyata hanya 2,7% subjek yang mengonsumsi cairan > 6 liter per hari. Konsumsi cairan berhubungan dengan status hidrasi pada pekerja. Penelitian pada 30 tenaga kerja di bagian stockyard menunjukkan adanya perbedaan tingkat dehidrasi pada pekerja yang bekerja di lingkungan kerja yang memiliki tekanan panas < Nilai Ambang Batas (NAB) dan> NAB (Ariyanti, 2018).

Iklim kerja panas juga berpengaruh signifikan pada tingkat dehidrasi tenaga kerja. Iklim kerja panas adalah kombinasi antara suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan dan suhu radiasi, kombinasi keempat faktor itu dihubungan dengan produksi panas oleh tubuh. Suhu tubuh manusia dipertahankan hampir menetap akibat keseimbangan antara panas yang dihasilkan di dalam tubuh sebagai akibat metabolism dan pertukaran panas antara tubuh dengan lingkungan sekitar (Sari, 2017). Menurut Tasyrifah (2017) tingkat dehidrasi pada tenaga kerja yang bekerja dengan iklim panas bagian pengepakan 62% lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat dehidrasi pada iklim kerja panas bagian pelintingan 38%.

Faktor risiko dehidrasi meliputi umur, jenis kelamin, lingkungan kerja panas, suhu tubuh, riwayat penyakit dan tingkat konsumsi cairan. Pekerja di lingkungan panas seperti di sekitar peleburan, boiler, oven, tungku pemanas atau bekerja di luar ruangan di bawah terik matahari dapat mengalami tekanan panas. Tekanan panas merupakan batasan tubuh menerima beban panas dari kombinasi tubuh yang menghasilkan panas saat melakukan pekerjaan dan faktor lingkungan (seperti pajanan suhu lingkungan yang terlalu panas, kelembaban, pergerakan udara, dan radiasi perpindahan panas), beban fisik yang berat, waktu istirahat yang tidak mencukupi, serta pakaian yang digunakan. Kejadian Dehidrasi ditandai dengan penderita berkeringat banyak, kehilangan cairan, dehidrasi, terasa lemah, dan dapat pingsan. Bila tidak mendapat tindakan medis yang cepat, gangguan kesehatan karena suhu lingkungan yang eksterm ini dapat mengakibatkan kecacatan atau kematian (Ariyanti, 2018).

Keseimbangan air di dalam tubuh perlu dijaga melalui pemenuhan kebutuhan air dan untuk menghindari terjadinya dehidrasi. Kebutuhan air bagi setiap individu akan berbeda-beda, tergantung dari ukuran fisik, umur, jenis kelamin, aktivitas fisik dan lingkungannya. Perkiraan kebutuhan air tubuh biasanya berdasarkan asupan energi, luas permukaan tubuh, atau berat badan tubuh. Kebutuhan air sehari dinyatakan sebagai proporsi terhadap jumlah energi yang dikeluarkan tubuh dalam keadaan lingkungan rata-rata. Pemenuhan kebutuhan air diperlukan untuk menggantikan pengeluaran air dari pernapasan, kulit, ginjal (urin), serta saluran pencernaan. Keseimbangan cairan tubuh adalah keseimbangan antara jumlah cairan yang masuk dan keluar tubuh. Keseimbangan air di dalam tubuh dipengaruhi oleh konsumsi cairan dan pengeluaran air. Melalui mekanisme keseimbangan, tubuh berusaha agar cairan di dalam tubuh setiap waktu berada di dalam jumlah yang tetap/konstan (Sari, 2017).

Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH, 2010), seseorang yang bekerja pada lingkungan kerja panas dianjurkan untuk minum 1 gelas air (250 ml) setiap 30 menit. Asupan air minum pada saat bekerja dengan lingkungan kerja yang panas diberikan tidak hanya pada saat merasa haus saja, akan tetapi ketika tidak merasa haus pun tetap dianjurkan untuk mengkonsumsi air minum dengan jumlah 1 gelas (250ml) setiap 30 menit. Hal ini bertujuan untuk menjaga tubuh dari dehidrasi akibat banyaknya cairan tubuh yang hilang akibat aktivitas fisik yang dilakukan dan paparan panas yang dihadapi (Nofianti, 2019).

Pekerjaan di tempat panas harus diperhatikan secara khusus kebutuhan air dan garam sebagai pengganti cairan untuk penguapan. Menurut Suma’mur (2009) air minum merupakan unsur pendingin tubuh yang penting dalam lingkungan panas terutama bagi tenaga kerja yang terpapar oleh panas yang tinggi sehingga banyak mengeluarkan keringat. Kebiasaan minum air yang baik dapat mencegah terjadinya dehidrasi tubuh setelah terpapar panas dalam kurun waktu tertentu. Apabila kecukupan konsumsi cairan terpenuhi sesuai kebutuhan dalam lingkungan panas maka status hidrasi akan baik, sebaliknya jika konsumsi cairan kurang karena suhu lingkungan yang tinggi maka akan berisiko dehidrasi (Ariyanti, 2018).

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arianto ME, Prasetyowati DD. 2019. Hubungan Antara Lingkungan Kerja Panas Dengan Keluhan Heat Related Illnes pada Pekerja Home Industry Tahu di Dukuh Janten, Bantul. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat 11(4): 318-324.

Ariyanti SM, Setyaningsih Y, Prasetio DB. 2018. Tekanan Panas, Konsumsi Cairan, dan Penggunaan Pakaian Kerja dengan Tingkat Dehidrasi. HIGEIA 2(4): 634-644.

Harahap PS, Asipsam. 2017. Hubungan antara suhu lingkungan kerja panas dan beban kerja terhadap kelelahan pada tenaga kerja di bagian produksi PT. Remco (SBG) Kota Jambi Tahun 2016. Riset Informasi Kesehatan 6(1): 35-40.

Maisyaroh S, Fakhruddin, Islami N. 2017. Analisis Pemahaman Konsep Suhu Dan Kalor Menggunakan Instrumen Thermal And Transport Concept Inventory Berbasis Representasi Grafik Pada Siswa Sman 1 Gas. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau 1(1): 1-8.

Minarto E, Fattahilah M. 2019. Efek Suhu Lingkungan Terhadap Fisiologi Tubuh Pada Saat Melakukan Latihan Olahraga. Journal of Sport and Exercise Science 2(1): 9-13.

Nofianti DW, Koesyanto H. 2019. Masa Kerja, Beban Kerja, Konsumsi Air Minum dan Status Kesehatan dengan Regangan Panas pada Pekerja Area Kerja. HIGEIA 3(4): 524-533.

Odi KD, Purimahua SL, Ruliati LP. 2018. Hubungan Sikap Kerja, Pencahayaan Dan Suhu Terhadap Kelelahan Kerja Dan Kelelahan Mata Pada Penjahit Di Kampung Solor Kupang 2017. Jurnal IKESMA 14(1): 65-76.

Sari MP. 2017. Iklim Kerja Panas Dan Konsumsi Air Minum Saat Kerja Terhadap Dehidrasi. HIGEIA 1(2): 108-118.

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja

edit
Postingan Lebih Baru Postingan Lama

My youtube channel --> https://www.youtube.com/channel/UC1eMyminGGBJHgKcPiRxwVg

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Mengenai Saya

Foto saya
just an ordinary people
© Design 1/2 a px. · 2015 · Pattern Template by Simzu · © Content Kimcoof_